Sunday, July 12, 2009

Talak Tiga Sekaligus dan Tanpa Saksi

Assalamu 'alaikum Wr. Wb.

Pa Ustadz yang budiman,
Saya pernah mentalak isteri dengan talak 3 sekaligus.. tapi diluar kesadaran dan tidak ada saksi satupun.. hari itu juga saya meminta maaf dan menarik talak saya dan isteri saya memaafkan.. anak saya masih kecil baru umur 5 bulan.. sampai sekarang saya masih berkumpul.. apakah saya masih berstatus sebagai suami? Bagaimana hukumnya Pa Ustadz.
Bagaimana caranya pak ustadz?? Saya tidak mau berpisah..?? Tolong secepatnya dijawab.. atas amal Pa Ustadz yang telah memberikan bimbingan dan nasehat mudah2-an Allah SWT memberikan keberkahan pada Pa ustadz baik di dunia maupun di akhirat
Bogor

Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatulllahi wabarakatuh,
Para ulama seluruhnya sepakat bahwa saksi tidak pernah diperlukan dalam menjatuhkan talaq, tidak seperti akad nikah yang diharuskan ada saksi dua orang laki-laki muslim, aqil, baligh, merdekadan bersifat 'adalah.
Cukup sebuah lafadz dari suami yang intinya menyebutkan salah satu dari tiga lafadz: talak, firaq atau saraah, maka jatuhlah talak dari suami kepada isteri. Jadi talak itu dilakukan oleh satu pihak, karena talak bukan akad antara dua belah pihak.
Kasusnya sama dengan seseorang yang bernadzar kepada Allah SWT, apabila impiannya terkabul dia akan menyembelih seekor kambing qurban. Saat mengucapkan nadzar itu tidak dibutuhkan saksi. Karena tindakan itu bukan akad jual beli yang melibatkan dua pihak. Keberadaan saksi biasanya terkait dengan keberadaan dua pihak yang melakukan akad kesepakatan.

Haramnya Menjatuhkan Talak Tiga Yang Dijatuhkan Sekaligus
Para ulama bersepakat bahwa menjatuhkan talak tiga secara sekaligus adalah perbuatan yang haram dan berdosa. Karena bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.

1. Dalil Al-Quran

Talak itu dua kali (QS. Al-Baqarah: 229)
Lalu mana talak yang ketiga? Talak yang ketiga adalah firman Allah SWT berikutnya:
(Setelah itu boleh rujuk lagi) dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (QS. Al-Baqarah: 229)

2. Hadits Rasulullah SAW

أخبرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن رجل طلق امرأته ثلاث تطليقات جيمعًا. فقام غضبان." فقال, "أيلعب بكتاب الله وأنا بين أظهركم، حتى قام رجل فقال: يا رسول الله، أفلا أقتله

Mahmud bin Lubai ra berkata bahwa Rasulullah SAW bercerita tentang seorang laki-laki yang menceraikan isterinya talak tiga sekaligus, maka beliau SAW pun berdiri sambil marah dan berseru, "Apakah orang itu bermain-main dengan kitabullah padahal Aku ada di tengah kalian?" Sampai ada seorang shahabat yang bertanya, "Ya Rasulullah, bolehkah Aku bunuh orang itu?" (HR An-Nasa'i)

Disebut 'talak tiga' karena dilakukan tiga kali dalam waktu yang berbeda. Tidakboleh dijjatuhkan langsung sekaligus tiga. Karena yang dimaksud dengan kata 'tiga' maksudnya adalah tiga kali mentalak, bukan sekedar penyebutan kata 'tiga'.

Maka antaratalak satu dengan talak dua, harus dipisahkan dengan rujuk atau kembali. Dan antara talak dua dengan talak tiga, juga harus dipisahkan dengan rujuk. Bila sudah dua kali talak dan dua kali rujuk lalu masih dilakukan lagi talak, maka barulah dikatakan talak tiga. Talak tiga artinya talak tiga kali dengan diselingi masing-masing dengan rujuk.

Maka para ulama mengatakan bahwa talak tiga dalam satu kali lafadz adalah perbuatan yang haram dan dimurkai Allah. Karena itu bertobatlah kepada Allah SWT karena Anda terlanjur melakukan hal yang dimurkai-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat.
Kalau Sudah Terlanjur, Apakah Jatuh Talak?

Apabila ada orang karena ketidak-tahuannya lalu menjatuhkan talak tiga sekaligus kepada isterinya, apakah talak itu tetap jatuh atau tidak? Kalau jatuh, apakah jatuhnya talak satu saja atau tetap jatuh sebagai talak tiga?
Para ulama berbeda pendapat. Beberapa ulama lain mengatakan bahwa mentalak tiga sekaligus tidak menjatuhkan talak.

1. Tidak Jatuh Talak

Di antaranya yang berpendapat demikian adalah Ibnu Taimiyah. Dalam kitab Majmu' Fatwa jilid 3 halaman 22 disebutkan bahwa beliau mengatakan tidak ada dalam Quran, Sunnah, Ijma' dan Qiyas ulama tentang jatuhnya talak dalam hal ini. Maka pernikahannya tepat eksis dengan yaqin, isterinya tetap haram dinikahi orang lain.
Karena talak tiga sekaligus dianggap sebagai talak bid'ah. Dan bagi kalangan ini, talak bid'ah malah sama sekali tidak menjatuhkan talak. Jadi talak model begini sama sekali bukan talak, jadi tidak perlu rujuk atau apapun. Isteri yang ditalak dengan cara begini tetap masih isteri, tidak ada yang berubah dari perkawinan.

2. Jatuh Talak

Sedangkan jumhur ulama meski mengharamkan talak tiga sekaligus, namun seandainya dilakukan juga, maka tetap jatuh talak. Tapi mereka berbeda pendapat, apakah jatuh talak tiga atau jatuh talak satu.

2. 1. Jatuh Talak Tiga
Sebagian dari ulama mengatakan jatuh talak tiga, karena beberapa dalil berikut ini:
سهل بن سعد، قال, "لما لاعن أخو بني عجلان امرأته، قال: يا رسول الله ظلمتها إن أمسكتها: هي الطلاق، هي الطلاق، هي الطلاق." رواه أحمد
Dari Sahal bin Saad berkata bahwa ketika orang dari Bani Ajlan meli'an isterinya dia berkata, "Ya Rasulallah, aku menzhaliminya kalau aku tetap menahannya. Dia Aku talak, Aku talak dan Aku talak." (HR Ahmad)
Dalil ini dijadikan dalil penguat dari jatuhnya talak tiga dengan satu lafadz, di mana kejadian itu terjadi di hadapan Rasulullah SAW.
Mereka yang berpendapat seperti ini menggambarkan bahwa talak itu ibarat seorang menjatuh tiga buah pensil sekaligus. Maka ketiganya akan jatuh secara bersamaan.

2. 2. Jatuh Talak Satu, Bukan Tiga
Pendapat lain mengatakan seandainya ada orang menceraikan isterinya dengan lafadz talak tiga sekaligus dalam satu majelis, maka meski lafadz talaknya menyebutkan tiga, tapi yang jatuh adalah talak satu, bukan tiga.
Dalilnya adalah beberapa riwayat berikut ini:
عن عكرمة عن ابن عباس رضي الله عنهما قال, "طلق ركانة امرأته ثلاثًا في مجلس واحد. فحزن عليها حزنًا شديدًا.. فسأله رسول الله صلى الله عليه وسلم: كيف طلقتها؟ قال: ثلاثًا. فقال: في مجلس واحد؟ قال: نعم. قال: فإنما تلك واحدة، فأرجعها إن شئت. فراجعها." رواه أحمد وأبو داود.

Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, "Rukanah telah menceraikan isterinya talak tiga dalam satu majelis, tapi kemudian dia bersedih menyesalinya.Rasulullah SAW bertanya kepadanya, "Bagaimana kamu menceraikakannya"? "Dia saya talak tiga", jawabnya. "Dalam satu majelis?", tanya Rasulullah SAW. "Ya", jawab Rukanah. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya talak itu hanya talak satu, rujuklah kalau kamu mau." Maka Rukanah pun merujuk isterinya." (HR Ahmad dan Abu Daud)

Jelas dan tegas dari hadits yang kita baca ini bahwa Rasulullah SAW tidak menganggap talak tiga sekaligus sebagai talak tiga, tetapi dianggap sebagai talak satu saja. Dan buktinya, Rukanah dipersilahkan untuk merujuk isterinya kembali. Seandainya jatuh talak tiga, maka tidak mungkin beliau memintanya merujuk isterinya.
Lalu mengapa ada pendapat yang mengatakan talak tiga bila dijatuhkan dalam satu majelis, bisa jatuh talak tiga?

Begini ceritanya, dahulu di masa Rasulullah SAW talak tiga yang diucapkan dalam satu lafadz tidak dianggap talak tiga, tetapi talak satu. Itu hukum dasarnya. Dan ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhuma menjadi khalifah, hal yang sama tetap terjadi. Tapi dua tahu setelah masa Umar menjadi khalifah, diputuskan perubahan mendasar. Talak tiga yang dijatuhkan dalam satu majelis diputuskan akan menjadi talak tiga betulan, sehingga tidak boleh lagi merujuk isteri.
Pertanyannya, mengapa Umar mengubah hukum itu?
Karena orang-orang sudah mulai bermain-main dengan lafadz talak tiga dengan satu majelis, sehingga untuk itu beliau memutuskan siapa yang menceraikan isterinya dengan talak tiga dalam satu lafadz atau satu majelis, maka akan jatuh talak tiga, bukan talak satu. Sehingga tidak ada kesempatan lagi untuk melakukan rujuk.

Keterangan ini bisa kita dapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim lewat jalur Ibnu Abbas ra.
Jadi kalau kita mau kembalikan kepada hukum asalnya, sesungguuhnya talak itu tetap jatuh satu, bukan jatuh tiga. Karena ada dalil yang sangat kuat tentang hal ini. Dan bahwa talak itu jatuh tiga adalah sekedar ijtihad Umar dalam mengantisipasi keadaan tertentu di masanya.

Kesimpulan

Kalau melihat kasus Anda, maka yang membuat anda masih terikat dengan isteri anda bukan karena saat menceraikan tidak ada saksi. Yang masih menjadi ikatan adalah karena anda masih punya dua talak lainnya, karena yang jatuh baru satu talak saja.
Segera rujuk isteri Anda sekarang juga, cukup diniatkan di dalam hati tanpa harus dengan lafadz atau saksi. Bahkan para ulama mengatakan bahwa merujuk isteri cukup dengan masuk ke kamarnya. Syaratnya, jarak waktu antara anda menjatuhkan talak dengan rujuk belum sampai tiga kali isteri anda suci dari haidh.
Kalau sudah lewat tiga kali suci dari haidh, terpaksa Anda harus menikah ulang, dengan mahar baru, wali, saksi dan ijab kabul.
Tapi kalau Anda menggunakan pendapat Ibnu Taimiyah yang mengatakan tidak jatuh talak dengan lafadz seperti itu, maka Anda tidak perlu merujuknya, karena paa hakikatnya talak tidak terjadi.

Tapi menurut hemat kami, pendapat yang agak aman adalah yang pertengahan. Yaitu talak sudah terjadi tapi hanya talak satu. Jadi rujuk isteriAnda sekarang juga, baarakallahu fiika
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wakarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc

Tidak shalat Jum'at karena Kerja

Nama: adi
Domisili: jakarta indonesia
Pesan: assalaamualaikum......
ustadz saya mau tanya ... saya seorang security di karena tuntutan tugas saya kadang meninggalkan sholat jum'at karena harus menjaga pos... apa hukumnya ustadz?
Jawab :
Shalat Jum’at adalah salah satu dari shalat-shalat yang diwajibkan Allah atas manusia. Adapun hukum meninggalkan shalat Jum’at adalah haram.
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (Al-Jumu’ah : 9)
Dari Thariq bin Syihab, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ Jum’at itu satu tuntutan yang wajib atas tiap-tiap muslim dengan berjama’ah, kecuali empat : Hamba dan perempuan dan anak-anak dan orang sakit”
(HR. Abu Dawud dan Hakim)

Kami memahami kesulitan anda. Allah memberi kemudahan-kemudahan untuk orang-orang yang mendapat kesulitan dan kesempitan. Solusinya adalah sebagai berikut :
1. Minta kepada atasan anda agar anda diberi libur tiap hari Jum’at
2. Minta kepada atasan anda agar setiap hari Jum’at anda ditemani security yang non muslim, agar anda bisa mengikuti acara Jum’at sementara dia berjaga.
3. Anda membuat acara Jum’at sendiri, minimal berdua. Tidak perlu di masjid, cukuplah di mushalla atau diruangan tempat anda berjaga. Namun tetap mengikuti urutan-urutan acara Jum’at yang sudah baku, yaitu : Adzan, 2 Khutbah, iqamat, dan shalat 2 raka’at.

Demikian, semoga Allah mengampuni segala kesalahan kita, baik yang disengaja maupun tidak disengaja.

wAllahul musta’an

Dana Yatim Dikelola untuk Usaha

Assalamu'alaikum Wr. Wb

Ustadz, bolehkah dana santunan yatim sebagiannya dikelolakan untuk usaha yang hasilnya tetap kita salurkan kepada anak yatim, sebab jika hanya diberikan begitu saja untuk menyantuni anak yatim manfaatnya kurang dirasakan. jika keadaannya terus menerus seperti itu dikhawatirkan punya ketergantungan pada belas kasihan orang saja.
Jika diperbolehkan, apakah diperkenankan juga mengambil operasional usaha itu dari dana yatim, seperti menggaji pegawainya dan sebagainya?
Demikian, Jazakumullah atas jawabannya.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb
Teguh
info_lmisitubondo@yahoo.com

Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Mengelola dana anak yatim adalah suatu amal yang mulia, karena dengan cara demiian, anak yatim akan mendapatkan jaminan sosial yang baik. Apalagi bila dikelola secara profesional.
Namun sebagai pengelola, ada baiknya bila kepada para dermawan yang telah menyisihkan uangnya, Anda membuat semacam proposal pola managemen yang anda inginkan, termasuk pengelolaan dana itu dengan baik, lalu anda presentasi di hadapan mereka. Ini kunci dari jawaban Anda.
Dengan keterbukaan ini, diharapkan anda mendapatkan kepercayaan yang lebih dari mereka. Karena mereka merasa aman dan yakin kalau dana mereka akan bertambah manfaatnya.
Dan tidak mengapa bila dalam proposal pengelolaan dana yatim untuk usaha itu, anda sertakan juga pengeluaran-pengeluaran yang logis dan masuk akal, seperti belanja kantor, gaji pegawai dan seterusnya. Asalkan RAB-nya logis dan masuk akal serta wajar, pasti para penyandang dana itu akan semakin percaya.
Al-quran telah menghalalkan kita memakan harta anak yatim, namun dengan syarat bahwa semua itu justru demi kepentingan anak yatim itu sendiri. Dan tentunya dengan besaran yang wajar.
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. (QS. Al-An'am: 152)
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al-Isra': 34)
Apalagi bila laporan rutin dan auditable dari anda tidak pernah absen, mereka insya Allah akan semakin bersemangat dan tentunya berterima kasih kepada anda. Bahkan mungkin saja bisa menjadi proyek percontohan buat daerah lain.
Jadi pada intinya, dana anak yaitm itu boleh saja digunakan untuk jenis usaha yang akan memberikan keuntungan berlipat kepada anak yatim. Asalkan dengan syarat:
1. Atas seizin dan sepengetahuan para donatur, bila uangnya bersumber dari para donatur. Dan Anda memang telah mendapatkan kepercayaan dari mereka.
2. Dibuatkan RAB dan cashflow yang masuk akal, murni, visible dan wajar.
3. Anda adalah orang yang cakap dalam berbisnis serta siap mengganti bila ada resiko kerugian.
4. Selalu memberikan laporan dan audit kepada para donatur serta jauhisikap berlaku curang atau tidak jujur. Karena sekali harta anak yatim termakan oleh anda di luar hak anda, maka kesialan akan menimpa anda.

Demiikian semoga hal itu tidak menyurutkan semangat anda, sebaliknya malah akan membuat anda semakin tertantang untuk membela hak anak yatim.
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc

Adab Berhutang : Bolehkah Berhutang ?

ADAB BERHUTANG-1/3-

Oleh : Ustadz Armen Halim Naro Lc

“Wahai guru, bagaimana kalau mengarang kitab tentang zuhud ?” ucap salah seorang murid kepada Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Maka beliau menjawab : “Bukankah aku telah menulis kitab tentang jual-beli?”

Fenomena yang sering terjadi dewasa ini yaitu banyaknya orang salah persepsi dalam memandang hakikat ke-islaman seseorang. Seringkali seorang muslim memfokuskan keshalihan dan ketakwaannya pada masalah ibadah ritualnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga diapun terlihat taat ke masjid, melakukan hal-hal yang sunat, seperti ; shalat, puasa sunat dan lain sebagainya. Di sisi lain, ia terkadang mengabaikan masalah-masalah yang bekaitan dengan muamalah, akhlak dan jual-beli. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan, agar sebagai muslim, kita harus kaffah. Sebagaimana kita muslim dalam mu’amalahnya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka seyogyanya juga harus muslim juga dalam mu’amalahnya dengan manusia. Allah berfirman.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh)” [Al-Baqarah : 208]

Oleh karenanya, dialog murid terkenal Imam Abu Hanifah tadi layak dicerna dan dipahami. Seringkali zuhud diterjemahkan dengan pakaian lusuh, makanan sederhana, atau dalam arti kening selalu mengkerut dam mata tertunduk, supaya terlihat sedang tafakkur. Akan tetapi, kalau sudah berhubungan dengan urusan manusia, maka dia tidak menghiraukan yang terlarang dan yang tercela.

Hutang-pihutang merupakan salah satu permasalahan yang layak dijadikan bahan kajian berkaitan dengan fenomena di atas. Hutang-pihutang merupakan persoalan fikih yang membahas permasalahan mu’amalat. Di dalam Al-Qur’an, ayat yang menerangkan permasalahan ini menjadi ayat yang terpanjang sekaligus bagian terpenting, yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 282. Demikian pentingnya masalah hutang-pihutang ini, dapat ditunjukkan dengan salah satu hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menshalatkan seseorang yang meninggal, tetapi masih mempunyai tanggungan hutang.

HUTANG HARUS DIPERSAKSIKAN
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [Al-Baqarah : 282]

Mengenai ayat ini, Ibnul Abbas rahimahullah di dalam kitab Ahkam-nya menyatakan : “Ayat ini adalah ayat yang agung dalam mu’amalah yang menerangkan beberapa point tentang yang halal dan haram. Ayat ini menjadi dasar dari semua permasalahan jual beli dan hal yang menyangkut cabang (fikih)” [1]

Menurut Ibnu Katsir rahimahullah, ini merupakan petunjuk dariNya untuk hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat : “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan” [2]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Maka tulislah …” maksudnya adalah tanda pembayaran untuk megingat-ingat ketika telah datang waktu pembayarannya, karena adanya kemungkinan alpa dan lalai antara transaksi, tenggang waktu pembayaran, dikarenakan lupa selalu menjadi kebiasaan manusia, sedangkan setan kadang-kadang mendorongnya untuk ingkar dan beberapa penghalang lainnya, seperti kematian dan yang lainnya. Oleh karena itu, disyari’atkan untuk melakukan pembukuan hutang dan mendatangkan saksi”. [3]

“Maka tulislah…”, secara zhahir menunjukkan, bahwa dia menuliskannya dengan semua sifat yang dapat menjelaskannya di hadapan hakim, apabila suatu saat perkara hutang-pihutang ini diangkat kepadanya. [4]

BOLEHKAH BERHUTANG?
Tidak ada keraguan lagi bahwa menghutangkan harta kepada orang lain merupakan perbuatan terpuji yang dianjurkan syari’at,dan merupakan salah satu bentuk realisasi dari hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Baragsiapa yang melapangkan seorang mukmin dari kedurhakaan dunia, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melapangkan untuknya kedukaan akhirat”

Para ulama mengangkat permasalahan ini, dengan memperbandingkan keutamaan antara menghutangkan dengan bersedekah. Manakah yang lebih utama?

Sekalipun kedua hal tersebut dianjurkan oleh syari’at, akan tetapi dalam sudut kebutuhan yang dharurat, sesungguhnya orang yang berhutang selalu berada pada posisi terjepit dan terdesak, sehingga dia berhutang. Sehingga menghutangkan disebutkan lebih utama dari sedekah, karena seseorang yang diberikan pinjaman hutang, orang tersebut pasti membutuhkan. Adapun bersedekah, belum tentu yang menerimanya pada saat itu membutuhkannya.

Ibnu Majah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau berkata kepada Jibril : “Kenapa hutang lebih utama dari sedekah?” Jibril menjawab, “Karena peminta, ketika dia meminta dia masih punya. Sedangkan orang yang berhutang, tidaklah mau berhutang, kecuali karena suatu kebutuhan”. Akan tetapi hadits ini dhaif, karena adanya Khalid bin Yazid Ad-Dimasyqi. [5]

Adapun hukum asal berhutang harta kepada orang lain adalah mubah, jika dilakukan sesuai tuntunan syari’at. Yang pantas disesalkan, saat sekarang ini orang-orang tidak lagi wara’ terhadap yang halal dan yang haram. Di antaranya, banyak yang mencari pinjaman bukan karena terdesak oleh kebutuhan, akan tetapi untuk memenuhi usaha dan bisnis yang menjajikan.

Hutang itu sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, hutang baik. Yaitu hutang yang mengacu kepada aturan dan adab berhutang. Hutang baik inilah yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; ketika wafat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berhutang kepada seorang Yahudi dengna agunan baju perang. Kedua, hutang buruk. Yaitu hutang yang aturan dan adabnya didasari dengan niat dan tujuan yang tidak baik.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
_________
Foot Note.
[1]. Ahkamul Qur’an, Ibnul Arabi, Beirut, Darul Ma’rifah, 1/247
[2]. Tafsir Quranil Azhim, 3/316
[3]. Ahkamul Qur’an, Ibnu Katsir, Madinah, Maktabah Jami’ Ulum wal Hikam, 1993, 1/247
[4]. Ibid
[5]. Sunan Ibnu Majah, no. 2431
Adab Berhutang : Etika Berhutang
Rabu, 28 Nopember 2007 02:03:39 WIB

ADAB BERHUTANG-2/3-

Oleh : Ustadz Armen Halim Naro Lc

ETIKA BERHUTANG
[1]. Hutang tidak boleh mendatangkan keuntungan bagi si pemberi hutang
Kaidah fikih berbunyi : “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Sedangkan menambah setelah pembayaran merupakan tabi’at orang yang mulia, sifat asli orang dermawan dan akhlak orang yang mengerti membalas budi.

Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan. [6]

[2]. Kebaikan (seharusnya) dibalas dengan kebaikan
Itulah makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tertera dalam surat Ar-Rahman ayat 60, semestinya harus ada di benak para penghutang, Dia telah memperoleh kebaikan dari yang memberi pinjaman, maka seharusnya dia membalasnya dengan kebaikan yang setimpal atau lebih baik. Hal seperti ini, bukan saja dapat mempererat jalinan persaudaraan antara keduanya, tetapi juga memberi kebaikan kepada yang lain, yaitu yang sama membutuhkan seperti dirinya. Artinya, dengan pembayaran tersebut, saudaranya yang lain dapat merasakan pinjaman serupa.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.
“Artinya : Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas dengan setimpal”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian” [7]

Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata.
“Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya” [8]

[3]. Berhutang dengan niat baik
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah zhalim dan melakukan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti.
a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Barangsiapa yang mengambil harta orang (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membinasakannya” [9]

Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi diatas [10] Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan azam untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang berazam pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala melelahkan badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan akhirat yang baqa (kekal)?

[4]. Hutang tidak boleh disertai dengan jual beli
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia telah melarangnya, karena ditakutkan dari transaksi ini mengandung unsur riba. Seperti, seseorang meminjam pinjaman karena takut riba, maka kiranya dia jatuh pula ke dalam riba dengan melakuan transaksi jual beli kepada yang meminjamkan dengan harga lebih mahal dari biasanya.

[5]. Wajib memabayar hutang
Ini merupakan peringatan bagi orang yang berhutang. Semestinya memperhatikan kewajiban untuk melunasinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar kita menunaikan amanah. Hutang merupakan amanah di pundak penghutang yang baru tertunaikan (terlunaskan) dengan membayarnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimnya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [An-Nisa : 58]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah : “Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk pembayaran hutang” [HR Bukhari no. 2390]

Orang yang menahan hutangnya padahal ia mampu membayarnya, maka orang tersebut berhak mendapat hukuman dan ancaman, diantaranya.

a). Berhak mendapat perlakuan keras.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata. : “Seseorang menagih hutang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai dia mengucapkan kata-kata pedas. Maka para shahabat hendak memukulnya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam berkata, “Biarkan dia. Sesungguhnya si empunya hak berhak berucap. Belikan untuknya unta, kemudian serahkan kepadanya”. Mereka (para sahabat) berkata : “Kami tidak mendapatkan, kecuali yang lebih bagus dari untanya”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Belikan untuknya, kemudian berikan kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang paling baik dalam pembayaran” [11]

Imam Dzahabi mengkatagorikan penundaan pembayaran hutang oleh orang yang mampu sebagai dosa besar dalam kitab Al-Kabair pada dosa besar no. 20

b). Berhak dighibah (digunjing) dan diberi pidana penjara.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah.:
“Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman” [12]

Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. :
“Menunda pembayaran bagi yang mampu membayar, (ia) halal untuk dihukum dan (juga) keehormatannya”.

Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Halal kehormatannya ialah dengan mengatakan ‘engkau telah menunda pebayaran’ dan menghukum dengan memenjarakannya” [13]

c). Hartanya berhak disita
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Barangsiapa yang mendapatkan hartanya pada orang yang telah bangkrut, maka dia lebih berhak dengan harta tersebut dari yang lainnya” [14]

d). Berhak di-hajr (dilarang melakukan transaksi apapun).
Jika seseorang dinyatakan pailit dan hutangnya tidak bisa ditutupi oleh hartanya, maka orang tersebut tidak diperkenankan melakukan transaksi apapun, kecuali dalam hal yang ringan (sepele) saja.

Hasan berkata, “Jika nyata seseorang itu bangkrut, maka tidak boleh memerdekakan, menjual atau membeli” [15]

Bahkan Dawud berkata, “Barangsiapa yang mempunyai hutang, maka dia tidak diperkenankan memerdekakan budak dan bersedekah. Jika hal itu dilakukan, maka dikembalikan” [16]

Kemungkinan –wallahu a’lam- dalam hal ini, hutang yang dia tidak sanggup lagi melunasinya.

[6]. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman, karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.

[7]. Berusaha mencari solusi sebelum berhutang, dan usahakan hutang merupakan solusi terakhir setelah semuanya terbentur.

[8]. Menggunakan uang dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya” [17]

[9]. Pelimpahan hutang kepada yang lain diperbolehkan dan tidak boleh ditolak
Jika seseorang tidak sanggup melunasi hutangnya, lalu dia melimpahkan kepada seseorang yang mampu melunasinya, maka yang menghutangkan harus menagihnya kepada orang yang ditunjukkan, sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah :

“Menunda pembayaran bagi roang yang mampu merupakan suatu kezhaliman. Barangsiapa yang (hutangnya) dilimpahkan kepada seseorang, maka hendaklah dia menurutinya. [18]

[10]. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.
Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku. (Maka) akupun melakukannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. [19]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
_________
Foot Note.
[6]. Al-Mulakhkhashul Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, KSA, Dar Ibnil Jauzi, Cet.IV, 1416-1995, hal. 2/51
[7]. Shahih Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305
[8]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394
[9]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387
[10]. Lihat Fathul Bari (5/54)
[11]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istqradh, no. 2390
[12]. Ibid, no. 2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427
[13]. Ibid, no. 2401
[14]. Ibid, no. 2402
[15]. Fathul Bari (5/62)
[16]. Ibid (5/54)
[17}. HR Abu Dawud, Al-Buyu, Tirmidzi, Al-buyu dan lain-lain
[18]. HR Bukhari, Al-Hawalah, no. 2288
[19]. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2405

Adab Berhutang : Yang Menghutangkan Agar Memberi Keringanan Kepada Yang Berhutang
Rabu, 28 Nopember 2007 02:07:21 WIB

ADAB BERHUTANG-3/3-


Oleh
Ustadz Armen Halim Naro Lc



BAGI YANG MENGHUTANGKAN AGAR MEMBERI KERINGANAN KEPADA YANG BERHUTANG
Pemberian pinjaman pada dasarnya dilandasi karena rasa belas kasihan dari yang menghutangkan. Oleh karena itu, hendaklah orientasi pemberian pinjamannya tersebut didasarkan hal tersebut, dari awal hingga waktu pembayaran. Oleh karenanya, Islam tidak membenarkan tujuan yang sangat baik ini dikotori dengan mengambil keuntungan dibalik kesusahan yang berhutang.

Di antara yang dapat dilakukan oleh yang menghutangkan kepada yang berhutang ialah.

[1]. Memberi keringanan dalam jumlah pembayaran
Misalnya, dengan uang satu juta rupiah yang dipinjamkannya tersebut, dia dapat beramal dengan kebaikan berikutnya, seperti meringankan pembayaran si penghutang, atau dengan boleh membayarnya dengan jumlah di bawah satu juta rupiah, atau bisa juga mengizinkan pembayarannya dilakukan dengan cara mengangsur, sehingga si penghutang merasa lebih ringan bebannya.

[2]. Memberi keringanan dalam hal jatuh tempo pembayaran
Si pemberi pinjaman dapat pula berbuat baik degan memberi kelonggaran waktu pembayaran, sampai si penghutang betul-betul sudah mampu melunasi hutangnya.

Dari Hudzaifah Radhyallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Suatu hari ada seseorang meninggal. Dikatakan kepadanya (mayit di akhirar nanti). Apa yang engkau perbuat? Dia menjawab. : Aku melakukan transaksi, lalu aku menerima ala kadarnya bagi yang mampu membayar (hutang) dan meringankan bagi orang yang dalam kesulitan. Maka dia diampuni (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala). [20]

[3]. Pemberi pinjaman menghalalkan hutang tersebut, dengan cara membebaskan hutang, sehingga si penghutang tidak perlu melunasi pinjamannya.

Beginilah kebiasaan yang sering dilakukan oleh Salafush ash-Shalih. Jika mereka ingin memberi pemberian, maka mereka melakukan transaksi jual beli terlebih dahulu, kemudian dia berikan barang dan harganya atau dia pinjamkan, kemudian dia halalkan, agar mereka mendapatkan dua kebahagian dan akan menambah pahala bagi yang memberi.

Sebagai contoh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli onta dari Jabir bin Abdullah dengan harga yang cukup mahal. Setibanya di Madinah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan uang pembayaran dan menghadiahakn onta yang telah dibeli tersebut kepada Jabir.

Contoh kedua, Thalhah berhutang kepada Utsman sebanyak lima puluh ribu dirham. Lalu dia keluar menuju masjid dan bertemu dengan Utsman. Thalhah berkata, “Uangmu telah cukup, maka ambillah!”. Namun Utsman menjawab : “Dia untukmu, wahai Abu Muhammad, sebab engkau menjaga muruah (martabat)mu”.

Suatu hari Qais bin Saad bin Ubadah Radhiyallahu ‘anhu merasa bahwa saudara-saudaranya terlambat menjenguknya, lalu dikatakan keadannya : “Mereka malu dengan hutangnya kepadamu”, dia (Qais) pun menjawab, “Celakalah harta, dapat menghalangi saudara untuk menjenguk saudaranya!”, Kemudian dia memerintahkan agar mengumumkan : “Barangsiapa yang mempunyai hutang kepada Qais, maka dia telah lunas”. Sore harinya jenjang rumahnya patah, karena banyaknya orang yang menjenguk. [21]

Sebagai akhir tulisan ini, kita bisa memahami, bahwa Islam menginginkan kaum Muslimin menciptakan kebahagian pada kenyataan hidup mereka dengan mengamalkan Islam secara kaffah dan tidak setengah-setengah. Dalam permasalahan hutang, idealnya orang yang kaya selalu demawan menginfakkan harta Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dititipkan kepadanya kepada jalan-jalan kebaikan. Di sisi lain, seorang yang fakir, hendaklah hidup dengan qana’ah dan ridha dengan apa yang telah ditentukan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya.

Semoga kita semua dijauhkan olehNya dari lilitan hutang, dianugerahkanNya ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih dan rizqi yang halal dan baik.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
_________
Foot Note.
[20]. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2391
[21].Mukhtashar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah, Tahqiq Ali Hasan bin Abdul Hamid, Oman, Dar Ammar, cet II, 1415-1994 hal. 262-263

Hukum Membaca Al-Qur'an Tanpa Tahu Artinya

Assalamu alaikum waro hmatulloh wa barokatuh

Begini pak ustad, saya ingin tahu apa hukumnya membaca alqur'an tapi yang membacanya tidak tahu artinya? Terima kasih atas jawaban pak ustad.
Wassalamu'alaikum war ohmatulloh wabarokatuh
Saidin Tgr

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Al-Quran sesungguhnya merupakan kitab yang berisi petunjuk dasar untuk hidup di alam dunia. Dengan menggunakan petunjuk itulah, kita diminta oleh Allah SWT untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah dalam arti luas, bukan terbatas pada ruang lingkup ritual dan sakral, tetapi seluruh aplikasi kehidupan manusia sesungguhnya bagian dari ibadah. Tanpa menggunakan petunjuk itu, maka apapun yang kita niatkan sebagai ibadah akan sia-sia.
Maka selayaknya sebagai muslim, kita bukan sekedar hanya membaca Al-Quran sebagai ritus ibadah, tetapi lebih dari itu, seharusnya kita mempelajari maknanya, mendalami esensi isinya, serta pengimplementasikan perintah-perintah yang ada di dalamnya menjadi suatu tindakan yang nyata.

Al-Quran sendiri telah mengumpamakan orang yang membaca kitab namun tidak mengerjakan isinya seperti layaknya keledai yang memanggul kitab.
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (QS. Al-Jumu'ah: 5)
Maka menjadi kewajiban kita untuk mempelajari isi kitabullah, sebagaimana ciri orang yang bersifat rabbani.

Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (QS. Ali Imran: 79)
Perintah untuk melakukan tadabbur Al-Quran juga kita dapati sebagai sebuah keharusan sebagai seorang muslim.
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quraan ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad: 24)

Sekedar Membaca pun Ibadah
Namun tidak dapat kita pungkiri bahwa Al-Quran itu memang lain dari wahyu yang lain. Salah satu kelebihannya adalah bila dibaca, meski tidak dipahami maknanya, Al-Quran tetap mendatangkan pahala. Walaupun manfaatnya menjadi sangat sedikit dibandingkan bila kita paham maknanya.

Namun perintah membaca tetap ada, sehingga meski kita belum menguasai bahasa arab, tetap saja membaca Al-Quran merupakan perintah dari Allah SWT. Perintah untuk membaca Al-Quran kita temukan bertebaran di dalam Al-Quran sendiri, di antaranya ayat berikut ini:
Bacalah apa yang mudah dari Al-Qur'an.(QS. Al-Muzzammil: 20)
Selain ayat Quran juga banyak hadits nabawi yang menganjukan kita untuk membaca Al-Quran, tanpa menekankan pentingnya kita mengerti maknanya.

1. Orang yang Baca Al-Quran dengan Yang Tidak Baca Berbeda

Salah satu nash hadits secara tegas membandingkan orang yang membaca Al-Quran dengan yang tidak membaca Al-Quran.Dari Abu Musa Al-Asy`arit berkata, Rasulullah bersabda, "Perumpamaan orang mukmin yang membaca Al-Qur`an bagaikan buah limau baunya harum dan rasanya lezat. Dan perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca Al-Qur`an bagaikan kurma, rasanya lezat dan tidak berbau. Dan perumpamaan orang munafik yang membaca Al-Qur`an bagaikan buah raihanah yang baunya harum dan rasanya pahit, dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca Al-Qur`an bagaikan buah hanzholah tidak berbau dan rasanya pahit." (HR Bukhari dan Muslim)
Dari hadits ini jelas sekali bahwa sekedar membaca Al-Quran atau tidak membacasudah membedakan kedudukan seseorang. Berarti ada nilai tersendiri untuk sekedar membaca Al-Quran.

2. Bersama Malaikat

Hadits ini juga sangat eksplisit menyebutkan tentang orang yang membaca Al-Quran, yaitu dijanjikan Allah akan di tempat bersama dengan para malaikat.
Dari `Aisyah Radhiyallahu `Anha berkata, Rasulullah bersabda, "Orang yang membaca Al-Qur`an dan ia mahir dalam membacanya maka ia akan dikumpulkan bersama para Malaikat yang mulia lagi berbakti. Sedangkan orang yang membaca Al-Qur`an dan ia masih terbata-bata dan merasa berat (belum fasih) dalam membacanya, maka ia akan mendapat dua ganjaran." (HR Bukhari Muslim)
Semakin tegas lagi ketika lafadz hadits ini menyebutkan kasus orang yang membaca Al-Quran dengan terbata-bata yang tetap saja akan diberikan pahala. Jelas menunjukkan tentang pentingnya membaca Al-Quran.

3. Bacaan Quran adalah Syafaat

Selain itu juga kita temukan adanya dalil yang menyebutkan tentang salah satu fungsi bacaan Quran sebagai syafaat yang akan menolong kita di hari akhir nanti.
Dari Abu Umamah Al-Bahili t berkata, saya telah mendengar Rasulullah bersabda, "Bacalah Al-Qur`an!, maka sesungguhnya ia akan datang pada Hari Kiamat sebagai syafaat bagi ahlinya (HR Muslim)

4. Diberi Pahala per Huruf

Dan semakin tegas lagi pentingnya membaca Al-Quran ketika Rasulullah SAW bersabda:
Dari Abdullah bin Mas`ud t berkata bahwaRasulullahSAW, "Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah (Al-Qur`an) maka baginya satu kebaikan. Dan satu kebaikan akan dilipat gandakan dengan sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan "Alif lam mim" itu satu huruf, tetapi "Alif" itu satu huruf, "Lam" itu satu huruf dan "Mim" itu satu huruf." (HR At Tirmidzi dan berkata, "Hadits hasan shahih).
Betul-betul disebutkan bahwa membaca Al-Quran itu berpahala dan pahalanya dihitung perhuruf, di mana setiap huruf akan dikalikan sepuluh kebajikan.
Semua dalil ini menunjukkan bahwa sekedar membaca Al-Quran tanpa memaham arti, juga sudah mendatangkan pahala. Namun kalau kita bandingkan dengan dalil-dalil yang lain, tentu pahalanya akan menjadi lebih berkah, lebih banyak dan lebih besar, manakala kita pun juga mengerti dan paham makna bacaan yang kita baca.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Al Quran Tips Tahfidz Quran

Tahfidz Qur'an

Kamis, 13 Sep 07 04:09 WIB

Ass. Wr. Wb.

Mohon saran atau tips dalam mudah menghafalkan Al-Qur'an. Karena saya merasa kesulitan melakukannya.

Jazakallah.

Nana

Jawaban

Ananda Nana, ada beberapa tips umum yang kiranya harus dipahami oleh mereka yang ingin menghafal Al-Qur’an. Yakni:

Luruskan niat semata-mata hanya untuk Allah. Lakukan perbuatan menghafal ini dikarenakan motivasi dari diri sendiri, bukan karena keterpaksaan atau karena tugas dari ustadz semata. Melakukan evaluasi hafalan dengan meminta orang lain mengkoreksi hafalan (muraja’ah) Buatlah target. Misalnya dalam sehari ada menargetkan sepuluh ayat sesuai dengan kemampuan. Dan tentunya secara sungguh-sungguh dipenuhi target ini.

Hendaklah membenarkan dan memperbagus dahulu hafalan sebelum beralih ke hafalan yang baru. Gunakan satu mushaf yang sama agar mudah teringat bentuk-bentuk ayat dan tempat-tempatnya dalam mushaf. Pahami ayat-ayat yang dihafalkan dan mengenal keterkaitan antara ayat yang satu dengan ayat yang lainnya.

Di samping itu hindari hal-hal yang dapat menghambat kita dalam menghafal Al-Qur’an, di antaranya banyaknya dosa dan maksiat, lebih mementingkan secara berlebihan urusan dunia, terburu-buru ke hafalan lain sebelum kuat hafalannya dan sebagainya,

Hendaklah selalu berinteraksi dengan para ustadz dan para penghafal qur’an untuk mendalami masalah ini.

Wallahu'alam. Wassalamu’alaikum wr.wb.

Satria Hadi Lubis